Ulang tahun
"Bunda, besok kan ulang tahun aku yang ke-enam. Aku dapat kado apa?" tanya diriku kecil pada saat jam 8 malam.
"Spesial. Sesuatu yang sangat spesial." jawab Bundaku tersenyum penuh arti. Sayangnya dulu kumasih belum mengerti apa yang tersembunyi dibalik senyumnya.
"Ayah kapan pulang, Bun?"
"Ayah lembur, Sayang. Kamu tidur aja, ya."
Sampai kamar, aku tertidur. Tetapi tiba-tiba aku terbangun dari mimpi indahku karena suara ribut tak jelas di depan kamar.
Aku membuka pintu sedikit, melihat dan mendengarkan dua orang yang sangat aku sayangi di dunia ini saling beradu mulut.
Aku tak mengerti apa maksud dari omongan mereka itu, tapi mataku penuh dengan air mata kala itu.
Bunda terduduk di bawah lantai menyender pada sofa, dan Ayah pergi begitu saja. Aku yang tak kuat melihatnya pun menghampiri Bunda yang tersedu.
Kulihat sebuah amplop bertuliskan "Pengadilan Agama Jakarta Barat", kuambil dan kubaca seluruh isinya. Ya, saat itu aku sudah fasih membaca.
Teng-teng-teng.
Tepat aku membaca inti dari suratnya, jam berdenting, menunjukan pukul 12pas. Ulang tahunku yang ke 6 tahun.
"Bunda.." panggilku terisak, Bunda membawaku ke pelukannya.
"Maafin Bunda, ya, Sayang. Habis ini kita hidup berdua, kita bahagia berdua aja, ya."
"Ayah..?"
Tanpa dijelaskan apapun aku sudah mengerti apa yang terjadi. Umurku mungkin masih belia kala itu, namun otakku bisa mencerna semua keadaan saat itu.
"Hadiah kamu dibawa Ayah lagi, ia lupa menaruhnya di sini." ucap Bunda ingat kado ulang tahunku.
Aku masih mengenggam erat amplop tadi. Dan sekarang aku mengerti, itulah kado dan kejutan paling menyakitkan yang pernah kudapat.