Sekolah ko full day?
POLEMIK SEKOLAH FULL DAY
.
Saya sebenarnya kuatir dengan sistem pendidikan full day, bangsa ini punya takdir melahirkan anak anak bangsa berjiwa seniman, berjiwa "art" dan juga jiwa petualang, semustinya ini yang harus di eksplorasi, bukan malah didekam di ruangan dengan waktu yang panjang dan dipaksa menerima literasi secara dikte.
Ajaklah anak anak bangsa ini melihat laut, melihat pantai pantainya, melihat gunung gunungnya, anggaran pendidikan kita amat besar, untuk pameran di frankfurt saja saat Anies Baswedan jadi Menteri anggarannya, berani keluar duit 200 milyar. Padahal dengan anggaran trilyunan itu, terapkanlah ajaran luar ruang, ajak anak anak didik naik kapal PELNI melihat Indonesia, ajaklah mereka agar bertemu dengan anak anak dari daerah lain, ajarkanlah mereka saling mengenal dan saling paham atas tiap budaya yang tumbuh. Disitulah inti pendidikan multikultural yaitu "Menciptakan Ruang Pertemuan".
Yang kurang dalam pendidikan kita adalah Pendidikan Multikultur, bila Paulo Freire mengungkapkan bahwa problematika terbesar adalah menjadikan "Pendidikan" sebagai penjara kehidupan, pendidikan adalah alat untuk melakukan "manusia dekat dengan dirinya", pendidikan harus berorientasi humanis, pada akhirnya manusia tidak terasing dengan dirinya sendiri. Pada dasarnya manusia memiliki kehendak dasar "Pembebasan" dalam dirinya, ajarkanlah tiap anak membebaskan dirinya, dari apa yang ia ingin pahami, pedagogi dengan dasar pendidikan ala Pabrik sudah tidak laku lagi dalam alam perkembangan anak anak di abad informasi ini.
Sekarang lihatlah, betapa anak anak Indonesia terasing dengan realitas bangsanya, di tengah bangsa yang majemuk ini, banyak anak bangsa kita melihat ini sebagai "kutukan atas homogenitas", anak anak bangsa ini tidak bisa melihat betapa indahnya tanah air kita, betapa kaya-nya tanah ini, betapa kaya-nya budaya-nya.
Pendidikan luar ruang menjadi amat penting, agar anak anak ke depan bisa berani melihat realitas, bukan dikungkung narasi pelajaran yang mendikte. Hanya negara negara yang dibudaki oleh Kapitalisme dan Etatisme saja yang menerapkan pendidikan "dalam ruang" yang brutal secara waktu.
Pendidikan pada dasarnya adalah "mengantarkan" bukan "memaksa" manusia menjadi dirinya sendiri. Pendidikan yang didikte pada ukuran ukuran nilai subjektif hanya menjadikan manusia berjiwa budak atas ilmu pengetahuan, tapi tidak berjiwa bebas.
Bukankah Ki Hadjar Dewantoro, di tahun 1922 pernah berkata bahwa "Pendidikan yang baik adalah mencintai alam lingkungan di sekitarnya, mengenali manusia sebagai manusia, dan membangun budaya dari dalam hatinya". Inilah prinsip dasar Pendidikan Taman Siswa, dan saya menyayangkan dalam bicara pendidikan kita kerap lupa mengutip ajaran Taman Siswa, padahal pola pendidikan Taman Siswa yang disepakati sebagai "dasar dasar nilai pendidikan kaum Republik"...